Sastra Indonesia di Pentas Dunia
Dalam bidang sastra, Indonesia masih menjadi terra incognita - negeri
tak dikena. Salah satu sebabnya, tak banyak karya sastra kita yang
diterjemahkan ke bahasa asing. Oleh: Anton Kurnia.
Tahun ini kita memperingati 70 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun, masih banyak hal yang harus kita benahi. Dalam bidang sastra,
misalnya, sejujurnya karya sastra Indonesia masih menjadi terra incognita—negeri
tak dikenal—dalam pentas sastra dunia. Salah satu sebabnya, meski kita
cukup banyak menerjemahkan karya sastra asing ke bahasa Indonesia,
adalah tak banyak karya sastra kita yang diterjemahkan ke bahasa asing,
terutama bahasa utama dunia seperti Inggris, Jerman, dan Prancis.
Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di ajang akbar Frankfurt Book Fair.
Berkaitan dengan soal penerjemahan karya sastra ini, saya mengusulkan agar pada jangka panjang kita bisa membentuk semacam Lembaga Penerjemahan Sastra (saya pernah menulis tentang hal ini di harian Media Indonesia, November 2003, dan di majalah sastra Horison, Oktober 2012). Lembaga ini kurang lebih semacam ITBM (Institut Terjemahan dan Buku Malaysia) di negara tetangga. Contoh lain, di Jerman misalnya terdapat Lembaga Penerjemahan Eropa yang berpusat di Straelen, sebuah kota di negara bagian Nordrhein-Westfalen, yang kini telah berusia lebih dari seperempat abad.
Upaya Kolektif
Lembaga Penerjemahan Sastra itu nantinya bertugas membantu dan memperbaiki kemampuan para penerjemah—khususnya para penerjemah sastra—dari berbagai bahasa ke bahasa Indonesia dalam menjalankan tugasnya, lengkap dengan segenap fungsi dan fasilitas penunjang: referensi yang lengkap, jaringan yang luas, dan koordinasi yang baik.
Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan di ajang akbar Frankfurt Book Fair.
Anton Kurnia
Sejumlah karya telah disiapkan untuk dipamerkan oleh
pemerintah, termasuk dalam edisi terjemahan, khususnya bahasa Inggris
dan Jerman. Apakah ini dapat memperbaiki representasi dan penetrasi
karya sastra Indonesia di pentas dunia?Berkaitan dengan soal penerjemahan karya sastra ini, saya mengusulkan agar pada jangka panjang kita bisa membentuk semacam Lembaga Penerjemahan Sastra (saya pernah menulis tentang hal ini di harian Media Indonesia, November 2003, dan di majalah sastra Horison, Oktober 2012). Lembaga ini kurang lebih semacam ITBM (Institut Terjemahan dan Buku Malaysia) di negara tetangga. Contoh lain, di Jerman misalnya terdapat Lembaga Penerjemahan Eropa yang berpusat di Straelen, sebuah kota di negara bagian Nordrhein-Westfalen, yang kini telah berusia lebih dari seperempat abad.
Upaya Kolektif
Lembaga Penerjemahan Sastra itu nantinya bertugas membantu dan memperbaiki kemampuan para penerjemah—khususnya para penerjemah sastra—dari berbagai bahasa ke bahasa Indonesia dalam menjalankan tugasnya, lengkap dengan segenap fungsi dan fasilitas penunjang: referensi yang lengkap, jaringan yang luas, dan koordinasi yang baik.
Kita tidak bisa menutup diri dari perkembangan sastra dunia jika kita
ingin berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang menguasai pentas
sastra dunia. Sebagai bahan renungan, sejak Hadiah Nobel Sastra diraih
pertama kali oleh sastrawan Prancis Sully Prudhomme hingga saat ini,
orang Indonesia yang pernah menjadi kandidat kuat memenangi hadiah
sastra prestisius itu hanyalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan
terkemuka kita yang pernah dipenjarakan dan diasingkan di Pulau Buru
tanpa proses pengadilan oleh rezim Orde Baru selama belasan tahun
(1965-1979). Setelah bebas, ia menerbitkan novel-novel cemerlang yang
melambungkan namanya di pentas sastra dunia.
Saya melihat, di balik keberhasilan individu para peraih Hadiah Nobel Sastra, terbentang tradisi sastra sebuah bangsa yang berakar dan tumbuh sejak berabad-abad silam. Tradisi itu dalam wujud sederhana adalah semangat membaca, menulis, dan menerbitkan karya sastra, serta mewariskan pustaka sebagai pusaka yang terus dimaknai dan kemudian mewujud dalam karya-karya besar. Juga kesediaan untuk belajar dari karya-karya utama dalam khazanah sastra dunia.
Perkembangan sastra Asia
Lihatlah sesama bangsa Asia seperti India, Jepang, dan Cina. India tak hanya punya Rabindranath Tagore, orang Asia pertama yang meraih Hadiah Nobel Sastra (1913), tapi mereka juga melahirkan pendekar-pendekar utama dalam panggung sastra kontemporer yang diperbincangkan oleh dunia semisal Salman Rushdie dan Arundhati Roy.
Jepang memiliki dua peraih Hadiah Nobel Sastra: Yasunari Kawabata (1968) dan Kenzaburo Oe (1994). Jauh sebelum Kawabata dan Oe meraih Hadiah Nobel, karya-karya terkemuka dari khazanah sastra dunia diterjemahkan secara besar-besaran di sana sejak zaman Restorasi Meiji. Karya-karya Shakespeare bahkan diterjemahkan hingga berkali-kali dalam berbagai versi.
Dan kini Cina pun telah melangkah dalam pergaulan sastra dunia kaliber Nobel lewat Gao Xingjian, pemenang Nobel Sastra 2000 yang kini mukim di Prancis, dan Mo Yan, novelis pemenang Nobel Sastra 2012.
Mereka memang memiliki tradisi sastra yang kuat dan sejarah yang panjang. Mereka telah menyalin karya-karya asing dari khazanah sastra dunia ke dalam bahasa mereka, menerbitkannya dalam bentuk buku, menelaah dan menarik manfaat darinya. Kemudian pada saatnya melahirkan karya-karya besar yang setara dengan karya-karya terbaik dunia lainnya.
Tradisi sastra
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita telah memiliki sebuah “tradisi sastra” yang kuat dan sejarah yang panjang?
Pada masa lalu kita pernah melahirkan karya-karya klasik yang tak kalah hebat dengan warisan bangsa lain. Sebut misalnya I La Galigo atau Serat Centhini. Namun, untuk kembali melahirkan karya-karya besar, kita harus mau membuka diri. Tidak hanya puas terkungkung dalam tempurung.
Khalayak sastra kita perlu lebih banyak membaca karya-karya utama dalam pentas sastra dunia, antara lain melalui karya terjemahan, baik melalui penerbitan buku-buku maupun publikasi di media massa (cerpen, sajak, esai, lakon). Saya kira “hal-hal kecil” semacam itu bermanfaat luas bagi perkembangan sastra dan kebudayaan kita.
Kita sudah menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya utama dari khazanah sastra dunia dalam katakanlah 10 tahun terakhir, misalnya Lolita (Vladimir Nabokov), Famished Road (Ben Okri), My Name Is Red (Orhan Pamuk), Midnight's Children (Salman Rushdie), The House of the Spirits (Isabel Allende), The Metamorphosis (Franz Kafka), The Palace of Dream (Ismail Kadare), Dictionary of Khazars (Milorad Pavic), One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez), Big Breasts and Wide Hips (Mo Yan), atau The Sound and the Fury (William Faulkner).
Namun, kita perlu menerjemahkan serta membaca lebih banyak karya bermutu dari khazanah sastra dunia demi kemajuan kita sendiri, membandingkan karya-karya itu dengan karya-karya kita sendiri, dan belajar dari para pengarang dunia tersebut.
Berkaca pada Amerika Latin
Di kancah sastra Amerika Latin ada satu fenomena yang disebut “El Boom”. Itulah ledakan karya sastra para pengarang Amerika Latin pada 1960-an hingga awal 1970-an ketika mereka muncul di pentas dunia mengeksplorasi ide-ide baru dan mengguncang pentas sastra dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para tokoh utamanya adalah Gabriel Garcia Marquez (1927-2014, Kolombia, pemenang Hadiah Nobel Sastra 1982), Julio Cortazar (1914-1984, Argentina), Carlos Fuentes (1928-2012, Meksiko, pemenang Hadiah Cervantes 1987), dan Mario Vargas Llosa (lahir 1936, Peru, pemenang Hadiah Nobel Sastra 2010) yang “secara kebetulan” sama-sama punya pengalaman mengembara di Eropa.
Ledakan sastra ini sedikit banyak dipicu ketegangan politik kawasan Amerika Latin pada masa itu sebagai imbas Perang Dingin antara blok Barat yang kapitalistis dan blok Timur yang komunis. Kemenangan Revolusi Kuba yang dipimpin Fidel Castro dan Che Guevara pada 1959 ketika gerakan revolusioner yang didukung rakyat berhasil menumbangkan diktator Batista menumbuhkan harapan baru bagi rakyat Amerika Latin yang tertindas di bawah rezim junta militer. Harapan itu memicu tumbuhnya gairah mencipta di kalangan para pengarang muda yang terbuka pada ide-ide baru.
Inilah yang kemudian melahirkan “El Boom” dengan novel-novel bercorak “modern”—antara lain bercirikan alur tak linear, penjungkirbalikan latar waktu, dan perubahan penutur silih-berganti—yang memberontak dari pakem konvensional. Di antaranya yang paling fenomenal tentu saja One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez, 1967). Pendeknya, “El Boom” mengubah wajah sastra Amerika Latin untuk selamanya dan berpengaruh pada karya generasi selanjutnya.
Menarik perhatian dunia
Akibat “El Boom”, karya para pengarang Amerika Latin kian menarik perhatian dunia, termasuk karya para pendahulu mereka (termasuk para master semacam Jorge Luis Borges dan Juan Rulfo) serta generasi setelahnya yang lazim disebut angkatan “Post-Boom” seperti Roberto Bolano (1953-2003, Cile).
Salah satu faktor pendukung suksesnya para penulis Amerika Latin, baik di mata kritikus maupun secara komersial, setelah era “El Boom” menjadi pembuka jalan, adalah peran para agen penerbitan (literary agent) seperti “Big Mama” Carmen Balcells yang legendaris. Selain karena karya mereka memiliki identitas kultural yang kuat, sekaligus menunjukkan aspirasi estetis yang unggul, ada peran para agen yang menjadi perantara aktif untuk menembus ketatnya industri penerbitan dunia sehingga bisa diapresiasi oleh kalangan yang lebih luas.
Faktor penerjemahan yang baik juga sangat penting. Dalam hal ini, sebagai contoh, peran para penerjemah ulung dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris, seperti Edith Grossman, Natasha Wimmer, serta suami-istri Gregory dan Clementine Rabassa, sangat signifikan dalam memperkenalkan karya-karya para sastrawan Amerika Latin ke pentas dunia.
Demikianlah. Jika kita ingin berperan lebih banyak dalam pentas sastra dunia, penerjemahan karya sastra kita ke bahasa-bahasa lain adalah keharusan. Makin banyak karya sastra kita yang diterjemahkan ke bahasa asing, tentu makin terbuka kesempatan untuk diapresiasi oleh khalayak yang lebih luas dan secara lebih serius.
Perlu komitmen dan upaya jangka panjang
Upaya penerjemahan besar-besaran sejumlah karya sastra Indonesia terseleksi terkait Frankfurt Book Fair 2015 perlu diapresiasi. Kabar baiknya, empat karya sastra Indonesia dalam terjemahan bahasa Inggris dimasukkan oleh majalah sastra berwibawa World Literature Today ke dalam daftar 75 karya terjemahan terbaik sepanjang 2014, yakni Anxiety Myths (Afrizal Malna, terjemahan Andy Fuller), The Rainbow Troops (Andrea Hirata, terjemahan Angie Killbane), Krakatau: The Tale of Lampung Submerged (Muhammad Saleh, terjemahan John H. McGlynn), dan Lies, Loss, and Longing (Putu Oka Sukanta, terjemahan Vern Cork dan Leslie Dwyer), sejajar dengan terjemahan karya para pengarang terkemuka dunia semacam Alberto Moravia (Italia), Bohumil Hrabal (Ceko), Cesar Aira (Argentina), Danilo Kis (Kroasia), atau Saadat Hasan Manto (Pakistan).
Sebenarnya, sejak beberapa tahun silam sejumlah karya para penulis kita telah beredar di pentas dunia, baik atas upaya terpadu dari sejumlah pihak maupun upaya sendiri. Sebut misalnya Saman karya Ayu Utami, pemenang Prince Claus Award 2000, yang telah diterjemahkan ke dalam delapan bahasa. Begitu pula Tarian Bumi karya Oka Rusmini yang setidaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Swedia. Bisa disebut pula karya-karya Eka Kurniawan seperti novel Cantik Itu Luka yang telah diterbitkan di sejumlah negara. Namun, tentu itu saja belum cukup.
Kita memerlukan komitmen dan upaya-upaya jangka panjang yang lebih sistematis dan terpadu untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya terbaik kita dalam bahasa asing. Semua itu akan menjadi sumbangan kita bagi dunia serta membuka jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa perlu terhalang oleh sekat-sekat perbedaan bangsa dan bahasa.
*Anton Kurnia, penulis, penerjemah, dan editor buku sastra; pengarang kumpulan cerpen Insomnia (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai A Cat on the Moon and Other Stories); sehari-hari bekerja sebagai Manajer Redaksi Penerbit Serambi, Jakarta.
Saya melihat, di balik keberhasilan individu para peraih Hadiah Nobel Sastra, terbentang tradisi sastra sebuah bangsa yang berakar dan tumbuh sejak berabad-abad silam. Tradisi itu dalam wujud sederhana adalah semangat membaca, menulis, dan menerbitkan karya sastra, serta mewariskan pustaka sebagai pusaka yang terus dimaknai dan kemudian mewujud dalam karya-karya besar. Juga kesediaan untuk belajar dari karya-karya utama dalam khazanah sastra dunia.
Perkembangan sastra Asia
Lihatlah sesama bangsa Asia seperti India, Jepang, dan Cina. India tak hanya punya Rabindranath Tagore, orang Asia pertama yang meraih Hadiah Nobel Sastra (1913), tapi mereka juga melahirkan pendekar-pendekar utama dalam panggung sastra kontemporer yang diperbincangkan oleh dunia semisal Salman Rushdie dan Arundhati Roy.
Jepang memiliki dua peraih Hadiah Nobel Sastra: Yasunari Kawabata (1968) dan Kenzaburo Oe (1994). Jauh sebelum Kawabata dan Oe meraih Hadiah Nobel, karya-karya terkemuka dari khazanah sastra dunia diterjemahkan secara besar-besaran di sana sejak zaman Restorasi Meiji. Karya-karya Shakespeare bahkan diterjemahkan hingga berkali-kali dalam berbagai versi.
Dan kini Cina pun telah melangkah dalam pergaulan sastra dunia kaliber Nobel lewat Gao Xingjian, pemenang Nobel Sastra 2000 yang kini mukim di Prancis, dan Mo Yan, novelis pemenang Nobel Sastra 2012.
Mereka memang memiliki tradisi sastra yang kuat dan sejarah yang panjang. Mereka telah menyalin karya-karya asing dari khazanah sastra dunia ke dalam bahasa mereka, menerbitkannya dalam bentuk buku, menelaah dan menarik manfaat darinya. Kemudian pada saatnya melahirkan karya-karya besar yang setara dengan karya-karya terbaik dunia lainnya.
Tradisi sastra
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita telah memiliki sebuah “tradisi sastra” yang kuat dan sejarah yang panjang?
Pada masa lalu kita pernah melahirkan karya-karya klasik yang tak kalah hebat dengan warisan bangsa lain. Sebut misalnya I La Galigo atau Serat Centhini. Namun, untuk kembali melahirkan karya-karya besar, kita harus mau membuka diri. Tidak hanya puas terkungkung dalam tempurung.
Khalayak sastra kita perlu lebih banyak membaca karya-karya utama dalam pentas sastra dunia, antara lain melalui karya terjemahan, baik melalui penerbitan buku-buku maupun publikasi di media massa (cerpen, sajak, esai, lakon). Saya kira “hal-hal kecil” semacam itu bermanfaat luas bagi perkembangan sastra dan kebudayaan kita.
Kita sudah menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya utama dari khazanah sastra dunia dalam katakanlah 10 tahun terakhir, misalnya Lolita (Vladimir Nabokov), Famished Road (Ben Okri), My Name Is Red (Orhan Pamuk), Midnight's Children (Salman Rushdie), The House of the Spirits (Isabel Allende), The Metamorphosis (Franz Kafka), The Palace of Dream (Ismail Kadare), Dictionary of Khazars (Milorad Pavic), One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez), Big Breasts and Wide Hips (Mo Yan), atau The Sound and the Fury (William Faulkner).
Namun, kita perlu menerjemahkan serta membaca lebih banyak karya bermutu dari khazanah sastra dunia demi kemajuan kita sendiri, membandingkan karya-karya itu dengan karya-karya kita sendiri, dan belajar dari para pengarang dunia tersebut.
Berkaca pada Amerika Latin
Di kancah sastra Amerika Latin ada satu fenomena yang disebut “El Boom”. Itulah ledakan karya sastra para pengarang Amerika Latin pada 1960-an hingga awal 1970-an ketika mereka muncul di pentas dunia mengeksplorasi ide-ide baru dan mengguncang pentas sastra dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Para tokoh utamanya adalah Gabriel Garcia Marquez (1927-2014, Kolombia, pemenang Hadiah Nobel Sastra 1982), Julio Cortazar (1914-1984, Argentina), Carlos Fuentes (1928-2012, Meksiko, pemenang Hadiah Cervantes 1987), dan Mario Vargas Llosa (lahir 1936, Peru, pemenang Hadiah Nobel Sastra 2010) yang “secara kebetulan” sama-sama punya pengalaman mengembara di Eropa.
Ledakan sastra ini sedikit banyak dipicu ketegangan politik kawasan Amerika Latin pada masa itu sebagai imbas Perang Dingin antara blok Barat yang kapitalistis dan blok Timur yang komunis. Kemenangan Revolusi Kuba yang dipimpin Fidel Castro dan Che Guevara pada 1959 ketika gerakan revolusioner yang didukung rakyat berhasil menumbangkan diktator Batista menumbuhkan harapan baru bagi rakyat Amerika Latin yang tertindas di bawah rezim junta militer. Harapan itu memicu tumbuhnya gairah mencipta di kalangan para pengarang muda yang terbuka pada ide-ide baru.
Inilah yang kemudian melahirkan “El Boom” dengan novel-novel bercorak “modern”—antara lain bercirikan alur tak linear, penjungkirbalikan latar waktu, dan perubahan penutur silih-berganti—yang memberontak dari pakem konvensional. Di antaranya yang paling fenomenal tentu saja One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Marquez, 1967). Pendeknya, “El Boom” mengubah wajah sastra Amerika Latin untuk selamanya dan berpengaruh pada karya generasi selanjutnya.
Menarik perhatian dunia
Akibat “El Boom”, karya para pengarang Amerika Latin kian menarik perhatian dunia, termasuk karya para pendahulu mereka (termasuk para master semacam Jorge Luis Borges dan Juan Rulfo) serta generasi setelahnya yang lazim disebut angkatan “Post-Boom” seperti Roberto Bolano (1953-2003, Cile).
Salah satu faktor pendukung suksesnya para penulis Amerika Latin, baik di mata kritikus maupun secara komersial, setelah era “El Boom” menjadi pembuka jalan, adalah peran para agen penerbitan (literary agent) seperti “Big Mama” Carmen Balcells yang legendaris. Selain karena karya mereka memiliki identitas kultural yang kuat, sekaligus menunjukkan aspirasi estetis yang unggul, ada peran para agen yang menjadi perantara aktif untuk menembus ketatnya industri penerbitan dunia sehingga bisa diapresiasi oleh kalangan yang lebih luas.
Faktor penerjemahan yang baik juga sangat penting. Dalam hal ini, sebagai contoh, peran para penerjemah ulung dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris, seperti Edith Grossman, Natasha Wimmer, serta suami-istri Gregory dan Clementine Rabassa, sangat signifikan dalam memperkenalkan karya-karya para sastrawan Amerika Latin ke pentas dunia.
Demikianlah. Jika kita ingin berperan lebih banyak dalam pentas sastra dunia, penerjemahan karya sastra kita ke bahasa-bahasa lain adalah keharusan. Makin banyak karya sastra kita yang diterjemahkan ke bahasa asing, tentu makin terbuka kesempatan untuk diapresiasi oleh khalayak yang lebih luas dan secara lebih serius.
Perlu komitmen dan upaya jangka panjang
Upaya penerjemahan besar-besaran sejumlah karya sastra Indonesia terseleksi terkait Frankfurt Book Fair 2015 perlu diapresiasi. Kabar baiknya, empat karya sastra Indonesia dalam terjemahan bahasa Inggris dimasukkan oleh majalah sastra berwibawa World Literature Today ke dalam daftar 75 karya terjemahan terbaik sepanjang 2014, yakni Anxiety Myths (Afrizal Malna, terjemahan Andy Fuller), The Rainbow Troops (Andrea Hirata, terjemahan Angie Killbane), Krakatau: The Tale of Lampung Submerged (Muhammad Saleh, terjemahan John H. McGlynn), dan Lies, Loss, and Longing (Putu Oka Sukanta, terjemahan Vern Cork dan Leslie Dwyer), sejajar dengan terjemahan karya para pengarang terkemuka dunia semacam Alberto Moravia (Italia), Bohumil Hrabal (Ceko), Cesar Aira (Argentina), Danilo Kis (Kroasia), atau Saadat Hasan Manto (Pakistan).
Sebenarnya, sejak beberapa tahun silam sejumlah karya para penulis kita telah beredar di pentas dunia, baik atas upaya terpadu dari sejumlah pihak maupun upaya sendiri. Sebut misalnya Saman karya Ayu Utami, pemenang Prince Claus Award 2000, yang telah diterjemahkan ke dalam delapan bahasa. Begitu pula Tarian Bumi karya Oka Rusmini yang setidaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Swedia. Bisa disebut pula karya-karya Eka Kurniawan seperti novel Cantik Itu Luka yang telah diterbitkan di sejumlah negara. Namun, tentu itu saja belum cukup.
Kita memerlukan komitmen dan upaya-upaya jangka panjang yang lebih sistematis dan terpadu untuk menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya terbaik kita dalam bahasa asing. Semua itu akan menjadi sumbangan kita bagi dunia serta membuka jendela bagi terciptanya dialog antarbudaya tanpa perlu terhalang oleh sekat-sekat perbedaan bangsa dan bahasa.
*Anton Kurnia, penulis, penerjemah, dan editor buku sastra; pengarang kumpulan cerpen Insomnia (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai A Cat on the Moon and Other Stories); sehari-hari bekerja sebagai Manajer Redaksi Penerbit Serambi, Jakarta.